Antara Gebetan, Tato dan Filosofi Dispenser.

Pagi itu adalah hari kedua gue libur masa tenang sebelum menghadapi Ujian Nasional SMP. Sebagai anak kelas 3, gue memilih untuk menghabiskan liburan kali ini dengan kegiatan-kegiatan yang gak ada hubungannya dengan pelajaran. Karena gue takut, kelulusan yang sudah di depan mata ini akan rusak akibat gue stress dengan waktu belajar yang terlalu diforsir  lalu gue pun gila  jadi suka jalan-jalan keliling komplek pakai kolor doang  nyasar sampai ke Area 51  dianggap meresahkan keamanan oleh pemerintah Amerika  ditembak pakai rudal.

See?

Efeknya memang bisa sangat mengerikan!
dan buat kalian yang nanya kenapa bisa nyasar sampai ke Area 51, gue gak tau..............
.
.
.
.
.
namanya juga orang gila!

***

Satu-satunya kegiatan bermanfaat yang gue lakukan di liburan kali ini adalah les bahasa Inggris. Karena menurut gue, sebagai bahasa internasional, bahasa Inggris memiliki peran yang sangat penting untuk menghubungkan kita dengan dunia luar. Tanpa bahasa Inggris, perkembangan karir kita akan relatif lebih lambat. Tanpa bahasa Inggris, akses terhadap ilmu pengetahuan pun menjadi terbatas, dan tanpa bahasa Inggris... kita gak akan bisa minta foto bareng bule yang ada di Kota Tua.

***

Jadi saat itu, gue les bahasa Inggris di salah satu tempat yang gak begitu jauh dari rumah. Jaraknya hanya sekitar 150 meter. Yaa, emang sih bukan tempat kursus dengan nama besar seperti LIA, English First atau Wall Street. Tapi bagi gue itupun udah cukup. Karena dengan les di tempat tersebut, gue jadi punya cerita yang bisa gue tulis di blog ini.

Ceritanya tentang salah satu teman les gue, namanya Stella. Nama lengkapnya Stella All in One.

Hehe. Gak deng, bercanda.

Nama lengkapnya Stella Natalia. Dia cantik, putih, tinggi, wajahnya agak oriental, pintar, dan yang pasti ramah. Banyak yang bilang kalau Stella ini mirip sama cewek Korea. Jika boleh mengibaratkan, maka Stella mirip banget sama istrinya Kim Jong Un.

Hehehe. Gak deng, ini juga bercanda.

Pokoknya sosok Stella itu "sempurna" di mata gue, dan sebagai cowok yang udah disunat pakai gunting di salah satu dokter di Bekasi sejak kelas 2 SD, gue pun suka sama Stella.

Suatu hari, gue berangkat ke tempat kursus lebih cepat dari biasanya. Gue berniat untuk menyelesaikan tugas minggu lalu yang belum sempat gue kerjakan di rumah. Selain itu, gue juga berharap bisa ngobrol sama Stella lebih lama. Karena gue tau, selama ini Stella selalu datang lebih awal. Yaa, siapa tau dari percakapan tersebut gue bisa menemukan kecocokan dengan dia, atau minimal bisa menemukan solusi atas masalah kesenjangan sosial dan korupsi yang ada di Indonesia.

OKE, SKIP!

Selang beberapa menit, terdengar suara sepeda yang gue tau itu adalah sepedanya Stella. By the way, tempat kursus gue ini berbentuk rumah pribadi. Jadi ketika ada seseorang yang masuk melalui pintu pagar, akan sangat terdengar suaranya.

     "Loh, kamu tumben udah sampe, Sar."
     "Iya, pengen ngerjain tugas dulu soalnya. Kamu udah selesai?"
     "Tinggal nomer 8. Aku liat dong.."
     "Nih, tapi nanti gantian yaa. Aku liat nomer 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, sama 10." jawab gue seraya memberikan buku catatan.
     "Yee, itumah kamu belom semua namanya!"

Saat Stella sedang asyik menyalin tugas, sekilas gue mengamati dia dari tempat duduk yang berada tepat di seberangnya. Gue melihat ada yang berbeda dari kaki Stella. Agak sedikit kotor...

Gue pun langsung teringat salah satu kutipannya Mandy Hale :
To make a difference in someone's life, you do not have to be brilliant, rich, beautiful, or perfect. You just have to care.
Yang artinya adalah....... gak tau. Gue cuma nyari di Google dengan keyword "quotes about caring someone".

     "Stel, kaki kamu kenapa tuh? ada item-itemnya gitu, kayanya kena oli sepeda deh."
     "Hah? yang mana?"
     "Itu yang di betis kanan kamu."
     "Oh, ini tato temporer, Sar. Aku baru pulang dari Bali tadi siang. Bukan oli sepeda kaya yang kamu kira! Hahahaha." kata Stella yang langsung terbahak.

ekspresi gue saat itu (sumber gambar)

Ternyata benar, setelah gue lihat betis Stella dengan lebih teliti, "noda hitam" yang gue maksud sebenarnya sebuah tato kumpulan kupu-kupu. Mungkin karena warnanya yang hitam, ditambah lagi dengan ukurannya yang agak kecil dan kurang terlihat dengan jelas, maka tato tersebut terlihat seperti noda bekas cipratan yang suka nempel di kaki kalau rantai sepeda gue baru ganti oli. Kampret...  

Ilustrasi tato kupu-kupu di betis Stella.

Singkat cerita, gue dan Stella pun lulus SMP. Kita lanjut ke SMA yang beda. Lulus dari sana, lalu lanjut ke universitas yang berbeda pula. Gue kuliah di UI, sedangkan Stella kuliah di Australia. 

Sampai akhirnya liburan semester genap tanpa sengaja mempertemukan kita di sebuah cafe di daerah Tebet. Saat itu gue lagi nunggu beberapa temen kuliah buat kumpul-kumpul. Sementara dia lagi ngedate sama pacarnya. Iya, dia sama pacarnya. Awalnya gue gak sadar kalau dia juga ada di cafe yang sama. Tapi setelah mencari tempat duduk yang pas dan memesan minuman. Stella menghampiri gue, sementara cowoknya memilih untuk pindah ke smoking room. 

Sore itu kita berdua ngobrol lumayan lama. Beralih dari satu topik ke topik lainnya yang selama ini belum sempat gue tanyakan. Sampai-sampai gue merasa, gue telah mengenal Stella sedikit lebih dalam. Suatu hal yang harusnya bisa gue lakukan 4 tahun lalu, saat masih les bahasa Inggris bareng dia. Karena terbawa suasana, gue juga jadi lupa kalau di smoking room, ada cowoknya Stella yang lagi ngeliatin gue dengan tatapan : "Buset nih kerak panci, asyik banget kayanya ngobrol sama cewek gue. Belom pernah diselengkat Pogba kali yaa."

Obrolan pun terhenti ketika salah satu teman kuliah gue datang, dan Stella memilih untuk kembali menemui pacarnya di smoking room. Sebelum pisah, dia bilang kalau ada satu hal yang mau diomongin.

Gue deg-degan.

Tapi di sisi lain, gue udah berjanji pada diri gue sendiri untuk menolak secara halus kalau tiba-tiba Stella mutusin pacarnya dan dia nembak gue kaya di acara "Katakan Putus".

     "Mau ngomong apa, Stel?" tanya gue dengan tegas.

     "Oh, ini... tangan aku kena oli sepeda nih, Sar. Hahahaha." kata Stella sambil menunjukan pergelangan tangan kirinya yang ternyata ada tato baru bertuliskan "Faith".

SIKAMPRET! DIA NGELEDEK GUE!!!

Ilustrasi tato "faith" di pergelangan tangan Stella.

Yang gue lakukan saat itu : pura-pura mati.


***

Sejak pertemuan terakhir dengan Stella di cafe Tebet, gue belum pernah ketemu dia lagi. Kita berdua pun bener-bener lost contact. Karena satu-satunya nomer hape Stella yang gue punya adalah nomer yang gue minta saat kita masih les bahasa Inggris bareng. 4 tahun gak ketemu, bikin gue jadi gak tau kabar terbaru tentang dia. Termasuk nomer hape dan juga akun social medianya.

Seorang temen kuliah gue pernah bilang satu hal yang kemudian ia beri nama dengan sebutan "Filosofi Dispenser". Kata dia begini :
Gue kadang merasa bahwa salah satu fase dalam suatu hubungan tuh seperti sebuah dispenser, dan kita-lah yang menjadi airnya. Sebab seringkali kita dipertemukan sejenak dengan seseorang dalam satu "galon" yang sama. Namun kemudian dipisahkan karena mungkin keduanya sesederhana punya tujuan hidup yang berbeda. Kita memilih untuk jadi "air panas" dan dia memilih untuk jadi "air dingin", ataupun sebaliknya. 
Yaa, nama filosofi yang agak aneh memang, meskipun gue merasa kalau kalimat di atas cukup relate dengan kondisi gue. Karena selama ini gue dan Stella hanya dipertemukan sejenak, kemudian kembali dipisahkan karena sesederhana hidup kita yang beririsan pada bagian terkecilnya aja. Tapi satu hal yang pasti, siklus sebuah titik air masih panjang, dan kita belum tau di mana kita akan dipertemukan dengan titik-titik air yang lainnya. Entah itu di danau, di awan, di lautan, atau mungkin kembali dipertemukan di sebuah galon yang sama, pada sebuah dispenser.
Previous
Next Post »

0 komentar:

Post a Comment